
Dosen perempuan memainkan peran ganda dalam kehidupan mereka: sebagai akademisi dan sebagai anggota keluarga. Di satu sisi, mereka dituntut untuk unggul dalam mengajar, meneliti, dan mengabdi kepada masyarakat; di sisi lain, mereka harus menjalankan tanggung jawab rumah tangga, mengasuh anak, dan menjadi pendamping keluarga yang andal. Menyeimbangkan dua dunia ini bukan perkara mudah, apalagi di tengah ekspektasi sosial dan budaya yang seringkali masih bias gender.
Tekanan Ganda: Profesional dan Pribadi
Dalam dunia akademik, perempuan kerap menghadapi tantangan yang tidak dialami rekan pria mereka. Selain menyelesaikan tugas mengajar dan penelitian, mereka seringkali memikul beban emosional dan logistik dalam rumah tangga yang lebih besar. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan akademisi menghabiskan lebih banyak waktu untuk urusan domestik dibanding laki-laki, bahkan ketika keduanya bekerja penuh waktu di institusi yang sama.
Sebuah studi mengungkapkan bahwa dosen perempuan di AS cenderung memiliki beban kerja rumah tangga lebih tinggi, dan ini berdampak langsung pada produktivitas akademik mereka. Artikel di The Guardian juga mencatat bahwa selama pandemi COVID-19, jumlah publikasi akademik oleh dosen perempuan menurun drastis dibandingkan laki-laki, karena meningkatnya beban pengasuhan anak selama masa lockdown.
Budaya dan Harapan Sosial
Di banyak negara, termasuk Indonesia, budaya patriarkal masih memengaruhi pandangan terhadap peran perempuan. Dosen perempuan yang ambisius dalam mengejar karier akademik kerap kali dianggap “mengabaikan keluarga.” Stereotip ini membebani perempuan dengan tekanan moral tambahan yang tidak dialami oleh dosen laki-laki. Perempuan seringkali diharapkan menjadi figur utama dalam pengasuhan anak dan manajemen rumah, bahkan ketika mereka memiliki pekerjaan penuh waktu di kampus.
Dalam wawancara yang dilakukan pada beberapa dosen perempuan, ditemukan bahwa banyak dari mereka harus bangun lebih pagi dari anggota keluarga lainnya untuk menyiapkan kebutuhan rumah sebelum berangkat mengajar, dan kembali bekerja larut malam setelah anak-anak tidur, hanya untuk menyelesaikan jurnal, laporan penelitian, atau bahan kuliah esok hari.
Dukungan Institusi yang Masih Minim
Meskipun banyak institusi pendidikan tinggi telah berkomitmen pada kesetaraan gender, implementasi kebijakan yang mendukung perempuan akademisi masih terbatas. Minimnya fasilitas seperti daycare di kampus, cuti melahirkan yang fleksibel, dan jam kerja yang ramah keluarga menjadi tantangan besar bagi dosen perempuan.
Laporan dari UNESCO tahun 2021 menunjukkan bahwa meskipun jumlah perempuan yang masuk ke dunia akademik meningkat, hanya sebagian kecil yang mampu menembus jabatan tinggi seperti guru besar atau rektor. Salah satu penyebabnya adalah banyak perempuan terhambat naik pangkat karena tidak mampu memenuhi syarat publikasi atau pengabdian masyarakat akibat keterbatasan waktu.
Strategi Menjaga Keseimbangan
Namun, banyak dosen perempuan membuktikan bahwa dengan strategi yang tepat, keduanya—keluarga dan karier—bisa dijalani secara seimbang. Beberapa strategi yang diterapkan antara lain:
- Manajemen waktu yang ketat: Membuat jadwal harian dan memprioritaskan tugas penting.
- Delegasi tugas rumah tangga: Membagi tanggung jawab dengan pasangan atau memanfaatkan bantuan orang tua dan keluarga.
- Menggunakan teknologi: Mengandalkan perangkat digital untuk mengelola perkuliahan, penelitian, dan komunikasi jarak jauh.
- Mencari komunitas pendukung: Bergabung dalam kelompok dosen perempuan atau forum diskusi untuk berbagi pengalaman dan saling mendukung.
Inspirasi dari Perempuan Akademisi
Kisah sukses seperti Dr. Sri Adiningsih (mantan Ketua Wantimpres dan dosen UGM) dan Prof. Amina Wadud (ilmuwan Islam feminis dari AS) menjadi inspirasi bahwa perempuan bisa meraih puncak karier akademik tanpa meninggalkan identitas sebagai ibu atau istri. Mereka membuktikan bahwa perempuan bisa menjadi pemikir besar sekaligus tokoh keluarga yang kuat.
Kesimpulan
Perjuangan dosen perempuan dalam menyeimbangkan karier akademik dan keluarga adalah refleksi dari tantangan struktural dan budaya yang masih ada. Diperlukan dukungan nyata dari institusi, masyarakat, dan keluarga agar perempuan tidak perlu memilih antara menjadi ibu yang baik atau akademisi yang sukses—karena mereka bisa dan layak menjadi keduanya.